Perkataan imam syafii atau sabda Nabi shallahu alahi wasallam

Apakah benar bahwa imam Syafi’i rahimahullah meriwayatkan hadits : “barangsiapa dibuat marah namun ia tidak marah maka ia adalah keledai, dan barangsiapa diminta ridhanya namun ia tidak ridha maka ia adalah setan”. Apakah ini kata-kata Rasulullah shallahu alahi wasallam atau kata-kata Imam Syafi’i ?

Jawaban

Riwayat ini disandarkan oleh Baihaqi kepada As-Syafi’i rahimahullah, dan inilah yang umum dikalangan masyarakat, tapi ada sebagian orang menyandarkannya kepada Ja’far As-Shadiq, dan sebgian lagi kepada Al-Hasan, akan tetapi tidak boleh dinisbatkan kepada Nabi shallahu alahi wassalam.

Berkata As-Sakhawi dalam al-maqashid al-hasanah, “barangsiapa yang diminta keridhaannya namun ia tidak ridha maka ia adalah setan” ini bukan hadits marfu’, tetapi ia adalah perkataan yang dikutip oleh Al-Baihaqi dalam kitab Asya’b dari ja’far bin muhammad as-Sadiq, beliau berkata :

“barangsiapa yang tidak marah pada saat maksiat maka pasti ia tidak memiliki rasa syukur pada saat berbuat baik”.

Dalam biografi Imam As-Syafi’i versi Ahmad bin Sinan, dikatakan bahwa keduanya bersumber dari imam Syafi’i rahimahullah dengan tambahan “barangsiapa yang pantas marah namun tidak marah maka ia adalah setan” adapun dari segi arti : kita dilarang memuji sifat marah dalam kondisi apapun, karena Rasulullah shallahu alahi wasallam melarangnya dan menganjurkan untuk bersabar.

di dalam Shahih Bukhari dan yang lainnya, bahwasanya seorang pria telah mendatangi Nabi shallahu alahi wasallam dan berkata : “wasiatkan sesuatu untukku.” Nabi menjawab : “jangan marah”, pria ini mengulang ulang permintaannya maka Nabi tetap menjawab; “jangan marah”.

Dan di Dalam hadits shahih lainnya, Nabi shallahu alahi wasallam bersabda: “bukanlah orang yang kuat adalah kuat dalam bergulat (bela diri), akan tetapi orang kuat adalah orang yang mampu menahan dirinya di saat marah.”

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitab Fathul Bari: Rasulullah shallahu alahi wasallam mengumpulkan kebaikan dunia dan akhirat dalam sabdanya: “jangan marah”,karena kemarahan membawa kepada permusuhan, mencegah kebaikan dan mungkin saja dia akan menyakiti orang yang dimarahinya, dengan demikian ia dan agamanya menjadi buruk dan tercela.

Ada beberapa kemarahan yang terpuji, salah satunya seperti yang dilakukan Rasulullah shallahu alahi wasallam yaitu ketika agama dilecehkan. Dan seharusnya, perkataan imam syafi’i ditafsirkan ke dalam bentuk praktek seperti ini jika perkataan tersebut betul-betul dari beliau.

Berkata Al-Haitsami dalam kitab Al-Zawajir. Kekuatan amarah letaknya di dalam hati dan itu artinya: darahnya mendidih karena menginginkan balas dendam, dan kekuatan ini memuncak pada saat ingin membalas orang yang jahat kepada dirinya sebelum terjadi, atau dengan membalas dendam setelah terjadi, dan membalas itu jauh lebih memuaskan, tapi sebaliknya dalam kondisi tidak berdaya untuk membalas, maka ia dinilai orang lemah, dikarenakan kehilangan kemampuan dan kecemburuan (qhirah), dan orang yang tidak memiliki kecemburuan kepada kebenaran ia tidak pantas menyandang sebagai manusia sempurna dari segi manapun, ia lebih mirip dengan dengan wanita bahkan serangga kecil, inilah arti dari kata-kata imam Syafi’i rahimahullah : “barangsiapa dibuat marah tapi ia tidak marah maka ia seekor keledai, dan barangsiapa diminta keridhaannya namun ia tidak ridha maka ia adalah setan.”.

Dan Allah telah mensifati para shahabat Ridhwanullahi ‘alahi dengan Asyidda (keras), yaitu keras terhadap orang kafir dan berlemah lembut kepada mukmin. “wahai Nabi lawanlah orang-orang kafir dan munafik, dan bersikap tegaslah terhadap mereka.”

Dan hilangnya kecemburuan terhadap kebenaran akan berakibat kepada hilangnya nama baik dan kemuliaan diri sendiri maupun keluarga, Rasulullah shallahu alahi wasallam bersabda :

“kalian pasti heran dengan kecemburuan Sa’ad! Saya lebih cemburu darinya, dan Allah lebih cemburu dari saya, dan di antara bentuk kecemburuanNya, ia telah mengharamkan perbuatan zina.”

Perkataan imam syafii

Adapun marah yang tercela adalah marah tidak untuk kebenaran dan menghilangkan akal sehat pelakunya, bahkan menghancurkan kehormatan agamanya, ia tidak menerima nasehat dari siapa pun, baginya menerima nasehat adalah kelemahan, sedangkan marah adalah keberanian dan kekuatanm, dan pada akhirnya ia pun binasa sebab kemarahannya.

Wal’iyazubillah min zalik dan sikap yang baik adalah : sikap proporsional antara ini dan itu, tidak keras tidak pula lembek artinya tidak apatis terhadap permasalahan agama dan tidak pula berlebihan sampai kehilangan akal sehat.

Ia marah karena memang kondisinya mengharuskan ia marah dan berhenti karena alasan husnul hilmi (keutamaan memberi maaf, dan sikap santun yang dianjurkan oleh agama), dan inilah sikap adil yang disanjung oleh Nabi shallahu alahi wasallam dalam haditsnya:

خير الأمور أوسطها
“sebaik-baik perkara adalah pertengahannya”

Sekali lagi bahwa marah yang tercela adalah marah karena membela kebathilan, atas dasar ini maka Rasullullah shallahu alahi wasallam tidak pernah marah kecuali karena Allah, disebutkan dalam shahih Bukhari dan Muslim bahwa ada seorang pria berkata :

“wahai Rasulullah shallahu alahi wasallam aku terlambat melaksanakan shalat subuh karena seseorang”, maka aku tidak pernah melihat Rasulullah shallahu alahi wasallam marah dalam menasehati orang tersebut pada hari itu. Wallahu a’lam

Sumber : majalah Qiblati edisi 09 tahun VIII h.56

Tidak ada komentar: