Qias azan dan iqamat pada penguburan jenazah ?

Pada saat penguburan jenazah biasa dikumandangkan azan, mereka beralasan bahwa azan disunnahkan ketika lahir, maka layak pula diazankan pada saat mati (masuk liang kubur), apakah qias ini bisa diterima secara syar’i ?

Jawaban
Menganalogikan azan ketika menguburkan mayat dengan disunnahkannya azan saat lahir (itupun bila mengazankan bayi yang baru lahir hukumnya sunnah), maka ini adalah analogi yang salah dan bathil ditinjau dari beberapa hal antara lain:

1. Tidak ada dalil shahih yang dapat dijadikan dasar disunnahkannya adzan saat bayi lahir, karena hadits tentang masalah ini dha’if walaupun sebagian ulama menganggap hadits hasan. Ulama berbeda pendapat tentang keabsahan beramal dengan hadits dho’if. ada antara yang tidak membolehkan beramal dengan hadits dho’if secara umum karena hadits yang shahih sebenarnya sudah mencukupi. 

Pendapat lain mengatakan boleh beramal dengan hadits dha’if dalam hal-hal yang bersifat fadhilah amal (amal-amal yang lebih bersifat perbuatan terpuji dan hanya memberi nilai tambah, tidak merupakan sesuatu yang asasi atau mendasar), sedangkan dapat persoalan hukum syariat berupa wajib, sunnah, haram dan makruh tidak dapat didasari selain hadits-hadits shahih.



baca juga: disuntuk pada urat leher dan otot, berpengaruhkah terhadap puasa

2. Ibnu hajar al-haitami rahimahullah ditanya tentang hukum azan dan iqamat untuk mayyit di lahadnya, beliau menjawab : “ bid’ah karena tidak ada dalil shahih dalam persoalan ini....” kemudian beliau menukil perkataan al-ashbahi, “saya tidak mengetahui ada riwayat shahih dalam masalah ini, melainkan hanya cerita dari sebagian generasi belakangan yang mengatakan, ‘barangkali hal ini dapat diqiaskan karena sunnahnya azan dan iqamat pada telinga bayi’. Seolah-olah dia mengatakan bahwa kelahiran adalah pertama kali masuk ke alam dunia, sementara kematian merupakan saat keluar dari dunia. Ini lemah, karena hal seperti ini tidak dapat dibangun kecuali diatas dalil yang khusus yang berbicara tentang azan dan iqamat atau kematian”. (kitab al-janaiz fatwa al-Haitami).

3. Ini merupakan perkara yang bersifat tauqifyah, artinya tidak ada ruang ijtihad dan qias didalamnya. Melaksanakan ritual tertentu dan mengikat diri dengan ketentuan tertentu, seperti syarat-syarat tertentu, tempat tertentu atau waktu tertentu, dalam beragam tidak dapat dilakukan tanpa izin dari pembuat syariat melalui dalil-dalil yang mu’tabar. Ulama tahkik dalam mazhab syafi’i dan mazhab lainnya menyimpulkan bahwa itu semua merupakan bid’ah, karena hukum asal ibadah ialah tawaqquf (mengikuti dalil semata) sebagaimana yang diterangkan diatas. Setiap amalan yang tidak dilakukan oleh generasi salaf/terdahulu walau pun tidak ada larangannya secara khusus dan memiliki landasan secara umum maka itulah bid’ah yang sesat, karena Nabi meninggalkannya sementara tidak ada hal yang menghalangi beliau untuk melakukannya.

4. kaidah dalam sunnah tarkiyyah (hal-hal yang tidak dilakukan nabi shallallahu alahi wassalam karena syariatnya memang tidak boleh dilakukan. Ini berbeda dengan hal-hal yang tidak dilakukan nabi shallallahu alahi wassalam karena memang tidak ada faktor yang menuntut dan memungkinkan perbuatan itu dilakukan) ialah jika Nabi shallallahu alahi wassalam tidak memerintahkan sesuatu yang telah terpenuhi sebab dan syaratnya, dan tidak ada faktor penghalangnya, maka melakukan perbuatan yang tidak diperintahkan tersebut adalah bid’ah dan meninggalkan sunnah. 

Nabi shallallahu alahi wassalam telah meninggalkan azan (tidak melakukan dan tidaklah pula memerintahkannya), ini menunjukkan bahwa sunnahnya ialah meninggalkannya bukan malah dianalogikan kepada azan untuk bayi.

5. Jika memang dianjurkan adzan ditelinga bayi, tentu para sahabat lebih utama dan lebih dahuku melakukannya, namun mereka juga ternyata tidak melakukannya. Ini menandakan bahwa tidak adanya azan di telinga bayi yang baru lahir, terlebih lagi tidak pernah ada satu riwayat pun yan dinukil dari para sahabat bahwa ada diantara mereka yang adzan di telinga anaknya atau orang lain.
Qias azan dan iqamat pada penguburan jenazah
Berdasarkan point-point diatas maka mengqiaskan adzan atau iqamat pada saat menguburkan mayat dengan azan di telinga bayi yang baru lahir tidak dapat dibenarkan, apalagi adzan di telinga bayi baru lahir tidak memiliki landasan hukum shahih, juga tidak dikenal di kalangan salafus shalih. Wallahu a’lam

Sumber: majalah qiblati edisi 11 tahun VII

Tidak ada komentar: