Media Dakwah dan dunia islam, bantu share sobat. barakallahu fikum
Kesaksian Murid K.H. Ahmad Dahlan tentang Wahhabi Memberantas Kemusyrikan, Khurafat dan Bid’ah di Tanah Suci

Kesaksian Murid K.H. Ahmad Dahlan tentang Wahhabi Memberantas Kemusyrikan, Khurafat dan Bid’ah di Tanah Suci


Haji Muhammad Soedja’ dalam bukunya berjudul “Pemimpin Hadji” yang terbit pada tahun 1927 M, memberikan kesaksian panjang lebar tentang perubahan-perubahan keadaan Makkah setelah dikuasai oleh Pemerintahan Wahhabi, sebagai berikut (dengan penyesuaian ejaan dan perbaikan kalimat agar lebih mudah dipahami):

“PERUBAHAN DI NEGERI MEKKAH

Di Negeri Mekkah itu pada sebelum dipegang oleh Pemerintah Wahabi adalah satu negeri yang amat makmur sekali segala apa yang terjadi di negeri luar tanah suci itu, terjadi juga di Mekkah. Di Mekkah itu banyak gahwan-gahwan (kafe) yang disitu disediakan rupa-rupa minuman yang dingin dan boleh jadi yang ……….. tapi dengan sembunyi, dan rupa-rupa mainan domino, dam schak dan lain-lain, dan gambusan dengan tandakan, qasidah-qasidan dan lain-lain kesenangan bangsa suara mulut dan alat yang dipukul dengan tangan atau ditiup dengan mulut, demikianlah di sepanjang jalan raya dan di setiap kampung-kampung orang itu selalu bersenang-senang hati, tidak memperhatikan beribadah dalam Masjidil Haram bagi orang bangsa Arab, tetapi Masjidil Haram itu kebanyakan yang memenuhi hanya orang-orang gharib, terutama bangsa Jawa. Demikianlah keadaan sehari-hari di tanah Mekkah mulai sore sampai pada lewat tengah malam.

Maka setelah tanah Hijaz itu dipegang oleh Pemerintah Wahabi, segala rupa perbuatan yang tidak patut atas tanah suci Mekkah dan segala rupa perbuatan yang tidak patut atas Agama Islam itu dilarang dengan sekeras-kerasnya sehingga bersih seperti disapu olehnya. 

Qubbah-qubbah daripada kuburannya Siti Khadijah dan Abdul Muththalib dan lain-lain yang di Ma’la, dan qubbah-qubbah daripada Ma-atsir (petilasan) seperti qubbah maulud Nabi, qubbah maulud ‘Ali, qubbah Fathimah dan qubbah Jabal Nur, semuanya itu dihancurkan (dihapuskan) dan disapu sehingga tiada ada bekas-bekasnya, hanya qubbah Siti Khadijah masih ditinggalkan dinding dan kuburannya. 

Selain daripada qubbah-qubbah, adalah beberapa tempat yang menjadi timbulnya kemusyrikan atau sekurang-sekurangnya menimbulkan khurafat (takhayul/gugoh tuhon), seperti di dalam Masjidil Haram ada sebuah tiang (cagak) daripada Masjid itu yang dari batu marmer ungu, yang pada perasaannya bagi orang-orang haji bangsa Jawa, tiang itu ungunya lantaran pada zaman dulu Haji Saka/Aji Saka (orang budha yang pertama menempati tanah Jawa) bersembahyang i’tikaf disitu. Lalu diantara khurafatnya: barang siapa bermohon kepada Tuhan hendak berhasil maksudnya bermohonlah disitu, niscayalah Tuhan akan memberinya. 

Demikian juga di sebelah Ka’bah ada sebuah batu plester yang merah, lain daripada batu-batu marmer yang banyak, maka batu merah itu khurafatnya pada barangsiapa orang yang tidak fasih akan membaca kalimat atau huruf-huruf Arab, menjilatlah akan batu itu, lambat laun tentu orang-orang atau kanak-kanak itu niscaya akan menjadi fasih mulutnya akan membacakan huruf Arab tadi.

Di tembok daripada kuburnya Siti Khadijah ada sebuah jendela yang pakai gigi (ruji) disitu khurafatnya bagi anak-anak perempuan Mekkah yang dara, bila ada meminang padanya seorang lelaki, mengikatlah kanak dara itu akan gigi jendela dengan benang atau tali kain, agar supaya peminang lelaki tadi tidak sampai menjadi terlepas (urung). 

Banyaklah macam-macam perbuatan manusia yang menyesatkan orang daripada Agama Islam dengan perkataan berkat-berkat (mengambil berkat untuk menghasilkan hajatnya dalam perkara duniawi dan perkara ukhrawi).

Selain daripada itu, Pemerintah Wahabi menghapuskan rupa-rupa perbuatan khurafat dan musyrik seperti tersebut di atas, maka segala perbuatan bid’ah dalam Agama juga dihapuskan olehnya dengan sekeras-kerasnya. 

Seperti berjamaah lima waktu pada tiap-tiap waktu sampai berkali-kali oleh empat Imam dengan berganti-ganti menurut sebagaimana aturan yang telah diatur pada daulat-daulat Mekkah yang dahulu, pada zamannya pemerintah Turki dan pemerintah Raja Husein, maka berjamaah pada tiap-tiap waktu itu sampai empat kali. 

Pada waktu Subuh yang pertama imam dari Madzhab Syafi’i, kedua imam dari Madzhab Maliki, ketiga imam dari Madzhab Hambali dan keempat imam dari Madzhab Hanafi. Demikianlah berganti-ganti sampai empat kali pada tiap-tiap waktu.

Maka setelah dipegang oleh Pemerintah Wahabi, perubahan yang pertama berjamaah di Masjidil Haram itu diubah jalannya cuma 2 kali, yaitu pada waktu Subuh, pertama imam dari Madzhab Hambali, lalu imam dari Madzhab Hanafi. Waktu Dzuhur, pertama imam dari Madzhab Hambali, lalu imam dari Madzhab Maliki. Waktu ‘Ashar, pertama imam dari Madzhab Hambali, lalu imam dari Madzhab Syafi’i. Pada waktu Maghrib dan Isya’, imam dari Madzhab Hambali sendiri.

Dulu shalat tarawih, di dalam Masjidil Haram pada bulan puasa masing-masing Imam setelah bersembahyang fardhu, lalu mengimami tarawih sendiri-sendiri, bahkan tidak hanya imam-imam itu saja, tetapi banyak orang-orang itu yang mengimami sendiri-sendiri, sampai beratus imam tarawih di dalam Masjidil Haram. Keadaan yang demikian itu sampai menjadi riuh suaranya orang bertakbir dan membaca Qur’an masing-masing menurut kemauannya sendiri, sehingga bingung bagi bangsa kita orang haji bangsa Jawa tidak mengerti satu-persatunya siapa imam itu.

Dulu pada tiap-tiap bulan puasa, sekalian menara Masjidil Haram bila pada waktu malam dihiasi dengan beberapa lampu dalam tiap-tiap menara untuk membedakan dan meramaikan Masjid dengan bulan yang tidak puasa.

Maka setelah dipegang oleh Pemerintah Wahabi perhiasan lampu di menara itu dihapuskan sama sekali.

Dulu di atas menara pada tiap-tiap habis adzan kyai modin lalu membaca taslim dengan berlagu-lagi dan mengeraskan suaranya sampai merdu berbareng-bareng tujuh orang di atas menara itu, sampai kira-kira 15-20 menit lamanya. Hanya pada waktu Maghrib kyai modin tidak membaca taslim, tetapi pada setelah sembahyangnya imam dari madzhab Hanafi di atas makam Hanafi dibaca selawat oleh bilal yang ada di situ dengan suara yang amat merdu. Bahkan dikhususkan suaranya kanak-kanak muda yang tidak lebih 18 tahun umurnya. Dan pada waktu sahur kyai modin membaca tadzkir demikian pula sebelum fajar membaca tarhim sampai masuk pada waktu Subuh.

Sungguhpun suara-suara itu bukannya suara yang busuk, tetapi suara yang baik bagi pendengar, artinya: membaca selawat Nabi dan memuji-muji kepada Nabi dan sahabat-sahabat sekalian tabi’in dan mendoa atau dzikir kepada Tuhan yang Maha Mulia serta Maha Tinggi, sehingga suara yang merdu itu sangat menarik hati kepada si pendengar, karena suaranya baik pun lagunya menarik hati. 

Akan tetapi oleh karena yang demikian itu sesungguhnya bukan jalannya Nabi kita dan sekalian sahabat Khulafa’ur Rasyidin, maka yang demikian itu diberhentikan oleh Pemerintah Wahabi yang menguasai Mekkah pada sekarang ini.

Di Jabal Qubais, di Ma’la dan di lain-lain tempat sekelilingnya Mekkah pada tiap-tip malam, terutama malam Jum’at banyak sekali daripada bangsa penduduk Mekkah itu sama berkumpul-kumpul membaca wirid dzikir Naqsyabandiyah, Syatariyah dan Qadiriyah dan lain-lain dan dzikir Syekh Saman dengan bersyi’ir, dan bertandak atau membaca manaqib daripada Syekh Abdul Qadir Jailani dan lain-lain sebagainya. 

Oleh karena yang demikian itu bukan pula kelakuan Nabi dan sekalian sahabatnya, bahkan kelakuan itu kebanyakan oleh yang gemar sehingga menjadi tersesat kepada Allah, maka yang demikian itu juga dihapuskan dan dilarang oleh Pemerintah Wahabi. 

Tetapi penduduk Mekkah pada waktu sekarang ini diperintahkan supaya melazimkan sembahyang berjamaah pada tiap-tiap waktu, terutama di Masjidil Haram. Sehingga di ancam kepada penduduk Mekkah itu, barang siapa yang meninggalkan sembahyang berjamaah pada tiap-tiap waktu dengan sengajanya, maka dihukum 24 jam dalam penjara.

Dalam Masjidil Haram pada musimnya banyak orang Haji sewaktu-waktu diperkenankan bagi segala bangsa yang hendak mengajarkan Agama Islam dengan bahasanya sendiri, bahkan disediakan mimbar-mimbar yang teruntuk kepada kepada bangsa-bangsa yang akan mengajar itu sampai 4 buah mimbar, dan pada waktu malam tiap-tiap mimbar disediakan juga satu lampu pompan yang tergantung untuk menerangi tempat itu. Yang mengajar 1 orang Mesir, 2 orang Hindustan, 3 orang Jawa, dan 4 ulama dari bangsa Sudan.

Air zamzam, dulu air zamzam itu tersedia bagi sabil umum dengan kendi-kendi yang terletak di halaman Masjid kalau waktu sore-sore dan waktu malam. Tetapi sekarang siqayah (peminuman) di empat penjuru di dalam Masjid itu, dengan beberapa Zier dalam tiap-tiap penjuru itu dengan dinaungi dengan heimah (tenda) penahan panas supaya air minum itu selalu dingin diminumnya. 

Banyaklah perubahan yang kecil-kecil itu sehingga tidak dapat dimuatkan di sini.

Tetapi pangkal perubahan yang paling terbesar bagi tanah Hijaz, yaitu keamanan tentang pembunuhan orang Badui kepada orang Haji dan rampasan bekalnya orang Haji di seluruh penjalanannya di Hijaz itu dengan seketika dapat dilenyapkan oleh Pemerintah Wahabi. Itu sudah menjadi keuntungan dan kesejahteraan yang besar sekali bagi segenap kaum muslimin yang melakukan kewajiban dalam Agama Islam yang suci.

(selesai nukilan)

==========================================

Haji Muhammad Soedja’ (1885 – 1962) merupakan merupakan salah satu murid pertama K.H. Ahmad Dahlan bersama dengan saudaranya dan pemuda Kauman lainnya seperti H. Fachroddin, Ki Bagus Hadikusumo, H. Hisyam, H. Zaini, H. Mukhtar, H.A. Badawi, H. Hadjid dan lainnya. Beliau merupakan putra dari Raden Lurah Hasyim yang lahir di Kauman. Lurah Hasyim merupakan lurah keagamaan pada masa Sultan Hamengkubuwono VII. Soedja’ merupakan murid K.H. Ahmad Dahlan yang diamanahi untuk membesarkan bidang PKU (Penolong Kesengsaraan Umum). Karya tulis Beliau selain “Pemimpin Haji”, diantaranya adalah buku berjudul “Islam Berkemajuan” yang didalamnya banyak menceritakan kisah perjuangan guru Beliau, K.H. Ahmad Dahlan.

==========================================

Soedja’ adalah diantara murid K.H. Ahmad Dahlan yang meriwayatkan kepada kita bagaimana perhatian K.H. Ahmad Dahlan terhadap pemurnian aqidah tauhid, yakni pemurnian tauhid ibadah dari praktik-praktik penyimpangan aqidah yang menjurus kepada perbuatan syirik, yang saat itu marak terjadi di masyarakat tempat Kyai Dahlan tinggal.

Diantara kisah yang diceritakan oleh Soedja’ yang dimuat dalam buku “Islam Berkemajuan” adalah tentang kritik K.H. Ahmad Dahlan terhadap praktik ziarah kubur yang dilakukan masyarakat sekitarnya saat itu, sebagai berikut:

“Pada tahun 1906, K.H.A. Dahlan memproklamirkan UUD yang mengejutkan perasaan kaum muslimin pada umumnya; ialah ziarah kubur kufur, ziarah kubur musyrik, dan ziarah kubur haram.

Sungguh peluru yang dilepaskan itu tepat mengenai sasaran yang dimaksud sehingga kaum muslimin gempar, lebih-lebih para alim-ulamanya mereka dari jauh sama mengatakan Haji Ahmad Dahlan sekarang sudah jadi orang Muktazilah, sudah ingkar kepada sunah Rasulullah, sudah menjadi Wahabi, dan lain-lain sebagainya.

K.H.A. Dahlan mendengar sambutan orang banyak yang beraneka warna yang berupa tuduhan atau dakwaan atas pribadinya itu, Beliau terima dengan senyum tenang dan sabar, karena Beliau menginsyafi bahwa mereka memang sungguh-sungguh belum sadar daripada tidurnya yang nyenyak itu. Buktinya, Beliau telah membuka pintu kamar tamunya untuk menerima barang siapa saja di antara mereka yang hendak menentang atau membantah soal ziarah kubur yang dikufurkan, yang dimusyrikkan, dan yang diharamkan oleh Beliau. 

Tetapi, tidak ada seorang pun dari mereka yang datang di kamar tamunya K.H.A. Dahlan untuk menentang atau membantah soal yang diumumkan tersebut. Hanya beberapa orang yang datang untuk menyatakan ketegesan (maksud) kedudukan orang ziarah kubur menjadi kufur, orang ziarah kubur menjadi musyrik, dan orang ziarah kubur haram. Padahal, paham Islam pada umumnya ziarah kubur adalah sunah.

Setelah mereka diberi penjelasan dengan dalil keadaan kaum muslimin Indonesia pada umumnya dan kaum muslimin di Yogyakarta pada khususnya, serta kaum muslimin di Kauman lebih khusus lagi, terutama kepada yang minta penjelasan sendiri (kepada hatinya) bagaimana rasa yang terkandung dalam hatinya di waktu ziarah kuburnya para yang dipandang wali, keramat, saleh, dan bagaimana pula bila berziarah kuburnya keluarganya sendiri.

Dengan penjelasan-penjelasan ini si peminta penjelasan merasa puas dan menginsyafi bahwa soal ziarah kubur oleh kaum muslimin pada umumnya sangat dengan mesti mengandung salah-satu dari tiga anasir di atas, atau malah mungkin mengandung tiga-tiganya sama sekali.

Dengan datangnya beberapa orang yang minta ketegesan soal ziarah kubur itu, dapat dimengerti bahwa kaum santri pada umumnya, dan haji-haji pada khususnya, banyaklah sesungguhnya belum sama memiliki tauhid suci murni khalis dan mukhlis. Bahkan, masih banyak terlihat orang-orang itu masih gemar memakai jimat-jimat dan kemat-kemat untuk macam-macam maksud yang baik dan maksud yang tidak baik.

Maka itu K.H.A. Dahlan merasa perlu giat berusaha menanam bibit tauhid yang sesuci semurni-murninya kepada para pemuda-pemuda di masa itu supaya dapat mempertumbuhkan iman yang teguh dan bakuh serta kuat untuk mengamalkan amalan-amalan agama Islam baik yang mengenai masyarakat dan yang mengenai akhirat.”

(selesai nukilan)

==========================================

Perhatian K.H. Ahmad Dahlan terhadap pemurnian aqidah tauhid seperti disinggung di atas, diwariskan juga kepada murid-murid Beliau, termasuk Soedja’. 

Ini terlihat pada Soedja’, diantaranya ketika Soedja’ mengkritisi praktik ziarah makam Nabi di Madinah dalam bukunya “Pemimpin Hadji”, sebagai berikut:

“Tuan-Tuan dan Saudara tentu akan mengetahui benar-benar, betapa sifat dan kelakuannya orang-orang yang sama ziarah kepada kuburnya Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Di situ adalah beberapa sifat dan kelakuan daripada orang-orang muslimin yang sama berziarah itu, amat mengkhawatirkan sekali mereka itu akan i’tiqad ilahiyahnya. 

Bukan ratusan saja daripada mereka itu yang sama ziarah, tetapi ribuan daripada bangsa-bangsa muslimin yang sama memelekatkan dirinya kepada pagar makam Kanjeng Nabi, sambil mendoa dan menangis, mohon ampun daripada segala dosanya, atau mohon berkat dan syafaat daripada Kanjeng Nabi supaya dihilangkan daripada kesusahannya dan dihilangkan daripada kemalangannya, dan mohon dilapangkan tentang perihal penghidupannya, dan dijauhkan daripada kesukaran dan kealpaan dirinya kepada segala keperluan-keperluan yang dianggap olehnya sendiri. 

Dan mohon kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW hendaklah diberi berkat dan syafa’at akan beroleh ilmu yang manfa’at i’tiqad yang kuat dan iman yang teguh kepada Tuhan, dan kepada Agama Islam, yang membawa kebahagiaan dan kesejahteraan pada hari kemudia, kelak mendapat keridaan Tuhan, bermukim dalam surga yang indah serta mulia akan selama-lamanya.

Tuan-Tuan Saudara! Betapa orang sama berebut hendak menutup pagar makamnya Kanjeng Nabi atau hendak mengusap-usap pagar itu dengan kedua tangannya, lalu diusapkannya kepada seluruh tubuhnya masing-masing, yang seolah-olah mendapat berkat daripada segala yang diusapnya itu, sehingga tiang lampu yang ditaruh di luar halaman pagar itupun tiada ketinggalan orang sama mengusap-usapnya. 

Cobalah Tuan-Tuan Saudara memfikirkan sendiri. Jika seandainya pagar yang mengelilingi halaman makamnya Kanjeng Nabi itu dibukanya, dan orang dibiarkan mengecup dan mencium atau mengusap-usap akan kuburannya Kanjeng Nabi, sudah tentu tidak sedikit darah yang mengalir daripada mereka itu, karena berebut lebih dulu akan mengecup atau menciumnya. Sedang pagar atau tiang lampu pun tiada dapat disunyikan daripada ciuman dan kecupan atau usapan, sehingga penjaga-penjaga yang mencegah keadaan yang demikian itu sama sekali tiada diindahkannya.

Tuan-Tuan Saudara tentu dapat mengira betapa i’tiqad dan iman (kepercayaan) mereka itu kepada Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi?

Selanjutnya seandainya Kanjeng Nabi Muhammad yang dikunjungi makamnya itu, bangun kembali hidup sebagai kita di dunia ini, betapakah Kanjeng Nabi akan menerima kedatangan mereka itu? Dengan gembirakah? Atau dengan berdukacitakah? Atau dengan nafsukan?

Tuan-Tuan Saudara tentu mengerti! Betapakah Kanjeng Nabi telah berulang-ulang mengajarkan Agama Islam kepada ummatnya tentang Ziarah Kubur dan meminta kepada orang yang mati atau kepada selain daripada Tuhan.”

(selesai nukilan)

Selanjutnya, Soedja’ mengutip beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi, kemudian mengatakan:

“Maka setelah mengetahui yang demikian itu, maka teranglah apa yang telah dilakukan oleh junjungan kita Kanjeng Nabi Muhammad SAW tentang amal ziarah kubur.

Sesungguhnya ziarah kubur itu sunnat, karena mengingatkan akan keadaan di alam akhirat dan memberik kebaikan kepada mayat, dengan mendoakan baginya dan memintakan rahmat dan ampunan baginya akan Tuhan, sebagaimana yang telah tersebut dalam Shahih Muslim.”

(selesai nukilan)

Selanjutnya Soedja’ mengutip hadits “laa tusyaddu ar-rihal”, dan mengakhiri penjelasannya dengan peringatan dan nasihat terkait ziarah ke Kota Madinah dengan mengatakan sebagai berikut:

“Maka daripada itu, berhati-hatilah hai Tuan-Tuan Saudara yang berziarah ke Madinah, akan menjaga Agama Tuhan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Ziarah itu disunnatkan pokoknya karena ingat dan mengambil ‘ibarat kepada yang terkubur itu (mayatnya) supaya membangunkan hati Tuan hendaklah rajin akan perbuatan kebajikan di dalam dunia, untuk berbekal Tuan kalau pulang ke lobang kubur sampa ke alam yang baka.

Berhubung dengan itu, baiklah Tuan-Tuan Saudara janganlah bersiap ke Madinah dengan niat dan maksud ziarah ke makam kuburnya Kanjeng Nabi Muhammad SAW dan lain-lain kuburan yang ada di kota Madinah. 

Tetapi niatlah Tuan-Tuan Saudara berziarah kepada Masjidnya Kanjeng Nabi, dan bersembahyanglah di situ menghormat kepada Masjid itu. Karena sembahyang di situ adalah pahala yang berlipat ganda daripada di lain Masjid tiga tersebut di atas (Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha). 

Adapun niat dan maksud Tuan-Tuan Saudara akan berziarah ke makam kuburnya Kanjeng Nabi itu pangkal yang kedua setelah Tuan-Tuan Saudara ada di sana (kota Madinah). 

Maka dengan begitu mudah-mudahan Allah Subhanahu Wa Ta’ala Yang Maha Murah dan Belas Kasihan menerima akan segala kebajikan Tuan-Tuan Saudara, dan mengampuni segala dosa dan kesalahan Tuan-Tuan Saudara adanya. 

Amien.

(selesai nukilan)

Wahyu Indra Wijaya

Repost from Rendi Apriyano
Read more »
AQIDAH BUYA HAMKA RAHIMAHULLAH DALAM ASMA WA SIFAT

AQIDAH BUYA HAMKA RAHIMAHULLAH DALAM ASMA WA SIFAT


Dari kitab klasik ini setidaknya kita mengetahui aqidah Buya HAMKA rahimahullah dalam masalah asma wa sifat, di antaranya?

1. Beliau menetapkan sifat dzatiyah Allah seperti: tangan, mata.

2. Beliau menetapkan sifat fi'liyah Allah seperti: istiwa'

3. Beliau menyatakan bahwa keyakinan seperti itu adalah madzhab salaf sejak zaman para sahabat Rasulullah.

4. Beliau tidak men-tasybih (menyerupakan) sifat Allah dengan sifat Makhluk

5. Beliau tidak men-Takyif (membagaimanakan) sifat Allah.

6. Beliau juga menyatakan bahwa aqidah seperti ini adalah aqidah yang diyakini syaikhul Islam ibn Taimiyah, imam ibnu al-Qoyyim dan imam Muhammad ibn Abd al-Wahhab rahimahumullah.

Pada zaman itu, beliau adalah benteng Ummat Islam di negeri ini.

Tak heran jika ada yang menggelarinya "Wahhabi" 

rahimahullah semoga Allah merahmatinya dengan rahmatnya yang Luas.

Amiin.

Read more »
Pakar Ilmu DNA, DR. Abdullah al-shuaibi alyamani: Habib Bukan Keturunan Nabi Muhammad

Pakar Ilmu DNA, DR. Abdullah al-shuaibi alyamani: Habib Bukan Keturunan Nabi Muhammad


PAKAR ILMU DNA DARI YAMAN DR. ABDULLAH AL SHUAIBI MEMBONGKAR DNA PARA PENGAKU AHLU BAIT YANG BERASAL DARI YAMAN...

INI BUKAN WAHABI YAA.....!!!

Pakar DNA Yaman, DR. Abdullah Al-Shuaibi Sebut Habib Bukan Keturunan Nabi Muhammad ﷺ

Admin by Admin 15 Maret 2024 3 min read

Pakar ilmu DNA dari Yaman, DR. Abdullah Al-Shuaibi, mengungkapkan fakta bahwa beberapa keluarga di Yaman, yang menyebut dirinya Banu Hasyim bahkan mengaku keturunan Nabi Muhammad ﷺ, sebenarnya keluarga tersebut sama sekali bukan Keluarga Bani Hasyim, bahkan leluhur mereka bukan orang Arab, baik Qohton maupun Adnan.

Seperti dikutip Yaman Press, sebagian orang menganggap pendapat ini adalah sebuah tuduhan yang bertentangan dengan ilmu nasab yang belum punah dan masih dijadikan pegangan di dunia Arab. sebagian lagi mendukung Al-Shu’aibi dan menyatakan bahwa ilmu itu tidak mempunyai agama, dan bahwa DNA merupakan dalil yang sangat kuat dalam kriminologi. Dari situ untuk nasab pun akan sangat kuat.

Menurut Al-Shuaibi, dinasti Arab termasuk dalam haplogroup J, tepatnya J1, atau lebih jelasnya J-M267, artinya siapa pun yang hasil tes DNA-nya ada di haplogroup J berarti dia berasal dari dinasti Arab, namun hasilnya harus di grup J yang sama dan di bawah mutasi M267 atau mutasi apa pun, mutasi ini turun di bawah, misalnya orang yang hasilnya J-P58 atau J-z1884, hasil ini adalah orang dinasti arab karena semuanya jatuh di bawah mutasi M267.

Al-Shuaibi menambahkan, setelah para pakar memberikan pernyataan ilmiyah, banyak dari mereka yang menarik diri dari proyek penelitian. itu terkait setelah para peneliti mencapai pembagian kelompok manusia yang lebih akurat, dan dinasti Bani Hasyim ditentukan lebih tepat.

Mereka yang mengaku sebagai Bani Hasyim kemungkinan telah menarik hasil tes mereka, setelah menjadi jelas bahwa garis keturunan mereka salah dan palsu, dan bahwa mereka sama sekali tidak bisa menjadi Bani Hasyim dan, dalam banyak kasus, mereka sama sekali bukan berasal dari Arab.

Al-Shuaibi membenarkan, bahwa dia dapat memperoleh beberapa hasil dari mereka yang mengaku dari Bani Hasyim Yaman, yang sepenuhnya berada di luar garis keturunan dan asal usul Arab.

Al-Shuaibi melaporkan, bahwa keluarga-keluarga ini telah memalsukan garis keturunan mereka ke garis keturunan Bani Hasyim untuk memeras warga negara, mendapatkan hak istimewa, dan mengklaim hak ilahi untuk memerintah.
Di bawah ini adalah beberapa di antara hasil tes DNA dari yang mengaku Bani Hasyim Yaman :

1- Sampel dari seseorang dari keluarga Al-Junaid menghasilkan E-L117. Kode ini sama sekali bukan berasal dari Arab dan tidak termasuk dalam garis keturunan J. 
Asal usul Kode ini tidak berasal dari Jazirah Arab, melainkan dari Afrika Timur. 
Ditemukan di Mesir dan cekungan Mediterania, termasuk Eropa selatan, selain itu 30% Yahudi Timur (Sephardic) termasuk dalam garis keturunan ini.

2- Contoh seseorang dari rumah Al-Saqqaf (habib Ba’alwi) G-M201. 
Trah ini juga sama sekali bukan berasal dari Arab dan tidak termasuk dalam dinasti J. 
Asal usul dinasti ini tidak berasal dari Jazirah Arab. Dinasti ini berasal dari apa yang sekarang dikenal sebagai Iran ( persia), dan sebagian besar masih ada di Iran (persia) meskipun munculnya dinasti ini di Israel dan beberapa wilayah di Jazirah Arab, dan mungkin merupakan akibat dari migrasi orang-orang Yahudi ke Jazirah Arab sebelum Islam dan masuknya sebagian dari mereka ke Islam dan pemukiman mereka di sana.

3- Contoh seseorang dari Keluarga Sharaf al-Din (Sharaf al-Din, keturunan al-Hadi al-Rasi Saada) dari silsilah E-Y17750, yang juga bukan bagian dari silsilah Arab, meskipun demikian klaim anggota keluarga ini bahwa mereka adalah Bani Hasyim, yang berarti klaim mereka salah. 
Garis keturunan ini berasal dari Afrika Timur dan ditemukan di Mesir dan cekungan Mediterania. Mediterania, termasuk Eropa Selatan, selain fakta bahwa 30% Yahudi Timur (Sephardic) juga termasuk dalam garis keturunan ini.

Patut dicatat bahwa hasil pemeriksaan DNA bersifat konklusif dan tidak diragukan lagi, dan menunjukkan asal usul garis keturunan, dan faktor ayah adalah penentunya, dan ibu tidak ada hubungannya dengan itu, itulah yang membuatnya sangat akurat, dan keakuratannya dapat diandalkan hingga 100%, dan ini membuktikan bahwa sebagian besar keluarga Bani Hasyim Yaman memalsukan silsilah mereka dengan tujuan untuk mendapatkan keistimewaan dan keuntungan mengklaim silsilah mereka ke Bani Hashem.

Artikel ini disadur dan diringkas dari artikel yang diterbitkan oleh yemenisport.com dengan judul : 

“khabir yamaniy yakshifu haqiqata hasyimiy al yaman wa intisabuhum ila ali al bait marji’an ba’duhum ila al sulalat al yahudiyyah”.

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=8343714762310413&id=100000159164437&mibextid=Nif5oz

Repost dari  Chaeruddin irsyad
Read more »
Kecil Besarnya tarif ngisi kajian berpotensi merusak hati yang rapuh, jangan salah niat

Kecil Besarnya tarif ngisi kajian berpotensi merusak hati yang rapuh, jangan salah niat

Dulu saya pernah menjadi 2 panitia di sebuh masjid, yang jarak kedua masjid tersebut antara 5 sampai 8 kilo.

Area masih terjangkau, tidak perlu beli tiket naik pesawat, bukan beda pulau atau provinsi.

Dan tarif keduanya berbeda-beda.
Keduanya mengeluarkan tarif di angka 300 ribu dan 750 ribu untuk setiap ceramah/kajian.

Dan kondisi kedua masjid dengan tarif yang berbeda itu sesuai kondisi, 300 ribu masjidnya menggunakan kipas biasa, 750 ribu masjidnya menggunakan AC dobel power di setiap sudut.

Singkat cerita kedua masjid itu saya yang membuat agenda susunan jadwal kajian dengan seorang pemateri yang sama.

Masjid dengan tarif 300 ribu jadwalnya pada waktu shubuh sampai syuruq, masjid dengan tarif 750 ribu jadwalnya pada jam 7 pagi, di hari yg sama.

Undangan panggilan pertama tidak ada masalah.

Undangan panggilan kedua dan seterusnya mulailah timbul troble dan banyak drama semacam sinetron di indosiar.

Sang pemateri tidak bisa dan minta izin untuk tidak bisa mengisi karena berbagai alasan yang berbeda-beda ketika di minta, antara tidak enak badan/sakit, sibuk dan berbagai alasan lainnya.

Yg pada intinya atau simpelnya gak mau.

Singkat cerita ketika sang pemateri meminta izin kepada saya untuk tidak bisa memberikan kajian di masjid pertama dengan alasan sakit, singkat cerita ketika saya keluar untuk mengecek masjid kedua, saya bertemu dan berpapasan langsung sekitar jam 6.30 di lokasi masjid, pemateri sedang sarapan di kawasan kuliner sekitar masjid dengan santai.

Memang di sekitaran lokasi masjid kedua itu banyak wisata kuliner dan berbagai macam jualan.

Saya berfikir keras bagaimana bisa shubuh kondisi tidak enak badan dan jam 6.30 langsung sembuh dan segar bugar.

Dengan kondisi tidak enak badan begitu bisanya dibela mati-matian dan diperjuangkan untuk bisa mengisi ceramah karena tarifnya 750 ribu, karena tarifnya lebih besar dari masjid yg pertama.

Kenapa untuk masjid yg pertama gak bisa, dan banyak kali alasannya ini itu.

Mungkin kalau masjid yg pertama lebih besar juga, pastinya akan diterima dan tidak ditolak.

Padahal kalau isi kepalanya terpakai, kalau diambil keduanya bisa dapat 1 juta lebih, dari shubuh sampai jam 8 pagi.

Tapi yah itulah manusia.

Dan ini sebagian dipakai oleh kalangan kita dan juga sebagian saya temui.

Semoga kita terlindungi dari hal sedemikian.

Mau kita berilmu tinggi, mau sudah senior, mau sudah bergelar (S.Ag, S.Pd, Lc, MA, Dr, Prof) dll.

Hati² dengan hal itu, kita bukanlah orang yg gak paham agama, atau orang yang baru belajar agama atau yang baru masuk islam.

Kita tahu hal sedemikian tidak baik.

Malu pada diri sendiri, kita menyampaikan dakwah, tapi tidak sesuai dengan diri sendiri atas apa yg kita sampaikan dan dakwahkan.

Saya yakin kalau kita sama² jujur dari hati yg bersih pasti hal sedemikian itu adalah suatu hal contoh yg tidak baik.

Read more »
Viral, Pemerasan dan Akhlak Buruk Petugas di Masjid Al Jabbar Bandung

Viral, Pemerasan dan Akhlak Buruk Petugas di Masjid Al Jabbar Bandung


AKHLAK BURUK PARA PEKERJA DI MESJID RAYA AL JABAR BANDUNG 

Setelah magrib berangkat dari jatinangor rencana langsung mau ke ciparay. Berangkat 2 mobil namun di tengah jalan memutuskan untuk singgah sholat Isya ke Mesjid megah Al Jabar di kota bandung. 

Sampai di pintu masuk di kasih karcis parkir. Dari jauh sudah begitu kagum dengan keindahan Mesjid yang penuh dengan cahaya indah. Wajar sih Parkiran susah di cari karna ada ratusan mobil yang parkir. Udah bayangin ada ribuan orang yang akan sholat berjamaah di dalam. 

Setelah keliling akhirnya nemu tempat parkir dan ada petugas parkir pakai rompi di dalam. Keluar mobil langsung di minta uang "seikhlasnya" karna udah bantu kasih aba aba parkir. Kasih 2 ribu nggak mau.
Lah katanya ikhlas. 

Kasih 5 ribu masih melengos akhirnya petugas bilang 10 ribu. 
Saya kasih aja. Karna udah adzan isya dan mau buru2 biar bisa jamaah bergegas deh ke Mesjid. 
Sampai di pelataran jinjing sepatu ke tempat penitipan. 

Ternyata petugas nggak mau terima suruh masukin ke plastik. Balik lagi beli plastik yang di jual sebelum pelataran seharga 5 ribu. Akhirnya bisa titip sepatu dan di kasih nomor. 

0Sebelum ambil wudhu kami mau ke toilet dulu. Baru masuk toilet udah di gedor2 petugas sambil ngomong pakai TOA keras banget "di toilet jangan lama-lama" . 

Belum juga mulai kesal akhirnya keluar aja dan langsung ke tempat wudhu. 

Tempat wudhu besar dan sepi. Langsung naik ke atas ternyata yang jamaah hanya beberapa saf aja. Bahkan hingga jamaah selesai.

Lanjut ke tempat titip sepatu. Ternyata sepatu saya nggak di temukan. Sekitar 30 menit menunggu akhirnya saya tanya ke petugasnya. Padahal tanya baik2 petugas nya nyolot bilang kalau sepatu saya mungkin bukan di sini tapi di tempat sepatu wanita. Bahkan petugas lain dengan kata kata nggak enak Saya di suruh cari di tempat lain.

Emangnya saya pikun lupa letak sepatu di mana. Saya tegaskan kalau saya titip di sini dan ini nomornya. Akhir petugas lain bantuin. Ternyata sepatunya ada di bawah kaki dia. 

Balik ke parkiran mobil ternyata petugas parkir udah beda lagi orangnya namun masih pakai rompi yang sama. Dan minta lagi 10 ribu "seikhlasnya"

Karna malas debat saya kasih 10 ribu. Saya di pintu keluar bayar parkir lagi 5 ribu. Waktu saya saya bilang udah bayar 2 kali 10 ribu di dalam petugasnya hanya senyum senyum aja.

Karna di luar macet ada satu petugas pakai rompi yang bantu keluar. Sambil ngulurkan tangannya minta seikhlasnya lagi. 

Karna udah kesal saya nggak kasih.

Saya mengagumi keindahan Mesjidnya tapi sayang ternoda oleh petugasnya.

Pantang lihat plat mobil beda..mesjid harusnya menjadi tempat yang aman bagi siapapun dan bukan tempat untuk melakukan pemerasan secara halus, sungguh buruk pelayanannya dan memalukan ! 

Sumber : 
https://twitter.com/petanirumah/status/1778957479168340236?t=CTA_nqKPiTXXcoynKBk-Ow&s=19

Repost from azizahnisa
Read more »
Apakah yang bergelar Habib adalah keturunan nabi Muhammad shalallahu alaihi wa salam?

Apakah yang bergelar Habib adalah keturunan nabi Muhammad shalallahu alaihi wa salam?

KH Imaduddin al Bantani
Menjawab Ludfi Rochman Tentang Terputusnya Nasab Habib


Tesis penulis tentang terputusnya nasab para habib Ba Alawi Yaman kepada Rasulullah mendapat antitesis dari Muhammad Ludfi Rocman (MLR) kiai asal Purwerejo Jawa tengah. Antithesis beliau termuat dalam dua tulisan. Tulisan pertama dengan judul “MELURUSKAN IMAMUDDIN UTSMAN YANG MENGINGKARI NASAB HABAIB INDONESIA” dimuat dalam media online Faktakini.info pada Jumat, 7 April 2023; tulisan kedua dengan judul “Para Ulama Sejak 5-6 Abad Lalu Yang Mengakui Nasab Sayid Ubaidillah Bin Ahmad” dimuat pada Sabtu, 8 April di media yang sama.

Di antara poin-poin yang akan penulis tanggapi dari tulisan beliau yang termuat dalam dua judul tulisan tersebut adalah:

Pertama, MLR menulis “Ada seorang yang katanya kiai membuat tulisan yang pada intinya beliau mengingkari nasab habaib terutama di Indonesia yang sudah disahkan oleh lembaga nasab yang berkompeten dalam hal ini adalah Rabithoh Alawiyah.” Penulis menjawab: penulis tidak mengingkari nasab habib sampai kepada Alawi bin Ubaidillah, yang penulis yakini secara ilmiah adalah mereka bukan sebagai keturunan Rasulullah karena Ubaidillah yang mereka sebut sebagai anak Ahmad bin Isa, tidak tekonfirmasi dalam kitab-kitab nasab sezaman dengan mereka.

Kedua, MLR menulis “Beliau mengambil kesimpulan ini hanya dari satu kitab nasab saja yang ditulis oleh Syekh Fahruddin Ar Rozi yaitu Kitab Sajaroh Al Mubarokah.” Penulis menjawab: Referensi penulis dalam menyimpulkan terputusnya nasab para habib Ba Alawi tidak hanya berdasar satu kitab saja melainkan 9 kitab nasab yang akan penulis uraikan rinci di bawah.

Ketiga, MLR menulis “Untuk sekedar diketahui bahwa Sayid Ahmad Bin Isa mempunyai gelar Al-Muhajir karena beliau hijrah (ke Hadramaut)”. Penulis menjawab: tidak ada kitab-kitab nasab mu’tabar yang menyebutkan bahwa Sayid Ahmad bin Isa pindah ke Hadramaut, maka tidak ada gelar Al-Muhajir bagi Ahmad bin Isa. Berita ia pindah dan ia bergelar Al-Muhajir berbarengan dengan munculnya nama Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa, yaitu mulai abad 10 Hijriah, sama dengan 650 tahun sejak wafatnya Ahmad bin Isa, sebelumnya tidak ada. Muncul pertama kali dalam kitab Tuhfatutholib Bima’rifati man Yantasibu Ila Abdillah wa Abi Tholib, karya Sayid Muhammad bin al-Husain as-Samarqondi (w. 996).

Keempat, MLR menulis “sebagai seorang pendatang bisa saja beliau (Ahmad bin Isa) menikah lagi dengan wanita yang tentu saja tidak Cuma satu”. Penulis menjawab: tidak ada berita ia pindah ke Hadramaut, maka tidak ada berita ia menikah lagi dan mempunyai anak bernama Ubaidillah.

Kelima, MLR menulis: “kitab Ar Razi juga tidak pernah mengingkari bahwa Sayid Ahmad Bin Isa punya putra bernama Sayid Ubaidillah. Ar Razi hanya menyebutkan 3 putra dari Sayid Ahmad dan tidak ada pengingkaran dari Ar Razi kalau Sayid Ahmad punya anak yang lain.” Penulis menjawab: kalimat Ar-razi yang menerangkan bahwa anak Ahmad bin Isa tiga menggunakan “jumlah ismiyah” yang menunjukan ta’kid (kuat), “Anak ahmad bin Isa itu tiga: Muhammad, Ali dan Husain” kalimat itu jelas dan tegas, bukan dua dan bukan empat. Berbeda jika ada kalimat yang menunjukan sebagian seperti: “diantara anak Ahmad bin Isa itu tiga: Muhammad, Ali dan Husain” kalimat semacam ini memungkinkan masuknya nama lain.

Keenam, MLR menyatakan ada kitab yang menerangkan bahwa Ahmad bin Isa mempunyai anak bernama Ubaidillah, yaitu kitab Syarhul Ainiyyah karangan Habib Ahmad bin Zen al-Habsyi. Penulis menjawab: kitab Syarhul Ainiyyah adalah kitab yang dikarang abad 12 hijriah, sedangkan Ubaidillah wafat pada tahun 383 h. bagaimana bisa kitab yang ada di abad 12 H bisa menjadi saksi keberadaan orang yang hidup di abad 4 h. dalam ilmu hadis, begitupula nasab, dibutuhkan yang namanya ittisolurriwayat (ketersambungan riwayat), tidak boleh suatu zaman berbeda dengan zaman sebelumnya dalam suatu riwayat. Pertanyaannya, dari mana kitab syarhul ainiyah mengambil referensi bahwa Ahmad bin Isa punya anak bernama Ubaidillah? Tidak disebutkan sumbernya apa. Karena memang tidak ada kitab yang sezaman dengan ubaidillah menyebutkan ia keturunan Nabi Muhammad SAW. atau ia anak dari Ahmad bin Isa.

Ketujuh, MLR menulis “Para Ulama Sejak 5-6 Abad Lalu Yang Mengakui Nasab Sayid Ubaidillah Bin Ahmad”. Penulis menjawab: pernyataan ini tidak dibarengi dalil sedikitpun, karena kitab-kitab yang disebutkan kemudian adalah kitab kitab abad 10 h ke atas.

Kedelapan, Beliau menulis bahwa Imam Sakhowi dalam kitab Ad-dlauillami’ menyebut nama ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa. Penulis menjawab: Imam Sakhowi hidup abad ke 10 H. ia wafat tahun 902 H. dalam kaidahnya: kitab abad sepuluh harus sama dalam periwayatan sejarah dan nasab dengan kitab sebelumnya, kecuali pemikiran, ia boleh berbeda dengan abad sebelumnya, tapi riwayat tentang sejarah dan nasab, harus ada referensi kitab sebelumnya tidak boleh berbeda, jika berbeda tanpa sanad itu tertolak secara ilmiah. Sedangkan kitab abad 5-9 H menyatakan Ahmad bin Isa tidak punya anak bernama Ubaidillah.

Kesembilan, Beliau menulis bahwa Ibnu Hajar al-haitami dalam kitab mu’jam, Imam Abu Salim Al Maghrib dalam kitab Bahjatul Mafakhir fii Ma’rifatin Nasab Ali Alfakhir, Imam Ibnu ‘Imad Asy Syafi’I dalam Syadzaratudzahab, Imam Abdurrahman Bin Muhammad Al Khotib dalam kitab Al Jauharus Syafaf fii Fadhoili wa Manakibi Assadah Al Asyrof, menurut beliau semuanya ulama ini menyebutkan bahwa Ahmad bin Isa mempunyai anak bernama Ubaidillah. Penulis menjawab: Ibnu Hajar wafat tahun 974 H., Imam Abu salim al Magribi tidak punya kitab yang bernama Bahjatul mafakhir, kitabnya bernama Ar-rihlah al-Iyasyiah, ia wafat tahun 1090 H., Ibnu imad yang beliau sebut bermadzhab syafi’I itu salah, seharusnya ia bermadzhab hambali. Ibnu Imad yang bermadzhab syafi’I tidak mempunyai kitab syadzaratudzahab. Ibnu Imad al-hambali ulama abad 11 H. ia wafat 1089 H, Imam Al-khotib ulama abad 9 H. ia wafat tahun 855 H. namun MLR tidak menyebutkan ibaroh kitab ini seperti apa, jadi belum bisa dipercaya. dalam kaidahnya: kitab abad 9-10 H. harus sama dalam periwayatan sejarah dan nasab dengan kitab sebelumnya, kecuali pemikiran, ia boleh berbeda dengan abad sebelumnya, tapi riwayat tentang sejarah dan nasab, harus ada referensi kitab sebelumnya tidak boleh berbeda, jika berbeda tanpa sanad itu tertolak secara ilmiah. Sedangkan kitab abad 5-9 H menyatakan Ahmad bin Isa tidak punya anak bernama Ubaidillah.

Kesimpulan: bahwa tulisan MLR itu belum bisa menjawab tesis bahwa Nasab para Habib ba Alawi itu terputus. Dan menurut penulis mereka tidak sah mengaku keturunan dari nabi Muhammad SAW.

Di bawah ini penulis akan terangkan sebuah pembahasan mendetail tentang Ahmad bin Isa, apakah betul ia mempunyai anak bernama Ubaidillah dan mempunyai cucu bernama Alawi?

Para Habib Ba Alawi

Keluarga Ba Alawi atau Para habib di Indonesia datang pada sekitar tahun 1880 M dari Yaman sampai tahun 1943 sebelum kedatangan Jepang.[ Historiografi Etnis Arab di Indonesia, Miftahul Tawbah, Journal Multicultural of Islamic Education, volume 6, h. 132.]

Di Indonesia, mereka kebanyakan tidak melakukan asimilasi dengan penduduk lokal, dari itu maka mereka dapat dikenali dengan mudah dari marga-marga yang diletakan di belakang nama mereka, seperti Assegaf, Allatas, Al-Idrus, bin Sihab, bin Smith dan lainnya.

Mereka mengaku sebagai keturunan Nabi Besar Muhammad SAW. Menurut mereka, mereka adalah dari keturunan keluarga Ba Alawi. Ba Alawi sendiri adalah rumpun keluarga di Yaman yang di mulai dari datuk mereka yang bernama Alawi bin Ubaidillah.

Nasab Alawi menurut mereka kepada Nabi Muhammad SAW adalah sebagai berikut: Alawi (w. 400 H) bin Ubaidillah (w. 383 H) bin Ahmad (w. 345 H) bin Isa an-Naqib (w. 300 H) bin Muhammad An-Naqib (w. 250 H) bin Ali al-Uraidi (w. 210 H) bin Ja’far al-Shadiq (w. 148 H) bin Muhammad al Baqir (w. 114 H) bin Ali Zaenal Abidin (w. 97 H) bin Sayidina Husain (w. 64 H) bin Siti Fatimah az-Zahra (w. 11 H) binti Nabi Muhammad SAW (w. 11 H). Tahun wafat yang penulis sebutkan tersebut penulis ambil dari sebuah artikel yang berjudul “Inilah Silsilah Habib Rizieq Shihab. Keturunan Ke-38 Nabi Muhammad? .[https://artikel.rumah123.com/inilah-silsilah-habib-rizieq-shihab-keturunan-ke-38-nabi-muhammad-124800]

Sayangnya nasab seperti di atas tersebut tidak sah dan batal karena tidak terkonfirmasi dengan sanad yang muttasil (tersambung) dalam kitab-kitab nasab primer yang mu’tabar dari generasi ke generasi. Kesimpulan seperti itu bisa dijelaskan karena kitab-kitab nasab yang ditulis berdekatan dengan masa hidupnya Alawi bin Ubaidillah sampai abad ke 10 Hijriah tidak mencatat namanya.

Ibnu al-Mubarak berkata:

الإسناد عندي من الدين لولا الإسناد لقال من شاء ما شاء (رواه مسلم)
“Sanad bagiku termasuk dari agama, jika tanpa sanad maka setiap orang bisa berkata apapun” (H.R. Muslim)

Alawi bin Ubaidillah Tidak di Sebut Sebagai Keturunan Rasulullah
Alawi bin ubaidillah yang disebut sebagai leluhur para Habib ini tidak terbukti sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW. mengapa demikian?
Karena Ubaidillah sebagai ayah dari Alawi yang dalam kitab-kitab para habib dicantolkan sebagai anak Ahmad bin Isa, ia tertolak sebagai anak Ahmad bin Isa berdasarkan kitab-kitab nasab yang ditulis pada abad kelima.

Sedangkan Ahmad bin Isa sendiri telah masyhur tercatat dalam kitab-kitab nasab sebagai keturunan Nabi yang sah.

Ketika Ubaidillah tertolak sebagai anak Ahmad bin Isa, maka Alawi dan keturunannya sampai sekarang dan sampai hari kiamat tertolak sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW.

Kenapa harus kitab abad kelima yang menjadi rujukan? Karena Alawi bin Ubaidillah wafat pada tahun 400 Hijriah, ayahnya, Ubaidillah, wafat pada tahun 383 Hijriah, dan Ahmad bin Isa wafat pada tahun 345 H . Maka dalam kitab-kitab nasab abad kelima itulah dilihat apakah betul Ahmad bin Isa mempunyai anak bernama Ubaidillah dan mempunyai cucu bernama Alawi. Ternyata setelah diadakan penelusuran, penelitian dan pengkajian disimpulkan bahwa penisbatan ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa tertolak oleh kitab-kitab nasab yang ditulis berdekatan dengan masa hidupnya Ubaidillah. Sedangkan kitab-kitab nasab yang ditulis pada suatu masa, tidak bisa dianggap sahih jika tidak memiliki referensi dari kitab-kitab sebelumnya.

Di bawah ini keterangan beberapa kitab nasab mu’tabar yang menjadi rujukan para nassabah (ahli nasab) dunia dalam mengurut nasab keturunan Nabi Muhammad SAW.

Pertama, Kitab Tahdzibul Ansab wa Nihayatul Alqab yang dikarang Al-Ubaidili (w. 437) abad 5 ketika menerangkan tentang keturunan Ali al- Uraidi tidak menyebutkan nama Alawi dan ayahnya, Ubaidillah. Ia hanya menyebutkan satu anak dari Ahmad al-Abah bin Isa yaitu Muhammad. Kutipan dari kitab tersebut seperti berikut ini:

واحمد بن عيسى النقيب بن محمد بن علي العريضي يلقب النفاط من ولده ابو جعفر (الاعمى) محمد بن علي بن محمد بن أحمد ، عمي في آخر عمره وانحدر الى البصرة واقام بها ومات بها وله اولاد وأخوه بالجبل له اولاد. (تهذيب الانساب ونهاية الالقاب، مركز تحقيقات كومبيوتر علوم اسلامي ص. 176-177
Dan Ahmad bin Isa an-Naqib bin Muhammad bin Ali al-Uraidi diberikan gelar an-Naffat, sebagian dari keturunannya adalah Abu Ja’far (al-A’ma: yang buta) Muhammad bin Ali bn Muhammad bin Ahmad, ia buta di akhir hayatnya, ia pergi ke Basrah menetap dan wafat di sana. Dan ia mempunyai anak. Saudaranya di al-jabal (gunung) juga mempunyai anak. (Tahdzibul Ansab wa Nihayatul Alqob, Markaz Komputer Ulum Islami, h. 176-177)

Al-Ubaidili, pengarang kitab Tahdzibul Ansab ini, hidup satu masa dengan alawi dan satu masa pula dengan ayahnya yaitu Ubaidillah. Menurut kitab Lisan al-Mizan karya Ibnu Hajar al-Asqolani, Al-Ubaidili wafat pada tahun 436 atau 437 Hijriah, berarti hanya 36 atau 37 tahun setelah wafatnya Alawi pada tahun 400 Hijriah, ditambah dalam kitab tersebut dikatakan umur al-Ubaidil mencapai 100 tahun, berarti Al-Ubaidili lahir pada 336/337 Hijriah, dan Ubidillah yang merupakan ayah Alawi wafat pada tahun 383, maka ketika ubaidllah ini wafat Al-Ubaidili sudah berumur 47 tahun, dan ketika wafatnya Alawi, Al-Ubaidli sudah mencapai umur 60 lebih, tentunya pengetahuan dan kebijaksanaanya sudah mencapai derajat tsiqoh.

Ditambah disebutkan dalam kitab yang sama Al-Ubaidli ini selama hidupnya sering mengunjungi banyak Negara seperti Damaskus, Mesir, Tabariyah, Bagdad dan Mousul, seharusnya Al-Ubaidili, ketika menerangkan keturunan Ahmad bin Isa ia mencatat nama Alawi sebagai cucu Ahmad bin Isa dan Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa, tetapi kenyataanya Al-Ubaidili tidak menyebutkannya, kenapa? Karena memang dua nama ini tidak ditemukan sebagai anak dan cucu Ahmad bin Isa.
Apalagi seperti yang disebutkan Habib Abu Bakar bin Ali Al-Masyhur dalam kitabnya al-Imam Ahmad Al-Muhajir, bahwa Ahmad bin Isa ini adalah seorang Imam, tentunya jika seorang imam, maka akan dikenal khalayak ramai, bukan hanya pribadinya tapi juga anak-anaknya dan cucu-cucunya, tetapi kenyataannya, ulama yang semasa hidup dengan Alawi, yaitu al-Ubaidili, tidak menyebut Alawi sebagai cucu Ahmad bin Isa.

Kedua, Kitab al-Majdi fi Ansabittholibin karya Sayyid Syarif Najmuddin Ali bin Muhammad al-Umri an-Nassabah (w. 490), ketika menerangkan tentang keturunan Isa bin Muhammad an-Naqib ia menyebutkan bahwa keturunan dari Ahmad al-Abah bin Isa ada di Bagdad yaitu dari al-Hasan Abu Muhammad ad-Dallal Aladdauri bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Isa. Sama seperti al-Ubaidili, al-Umri tidak menyebut nama Ubaidillah dan Alawi sebagai anak dan cucu dari ahmad bin Isa. Kutipan lengkapnya seperti di bawah ini:

وأحمد ابو القاسم الابح المعروف بالنفاط لانه كان يتجر النفط له بقية ببغداد من الحسن ابي محمد الدلال على الدور ببغداد رأيته مات بأخره ببغداد بن محمد بن علي بن محمد بن أحمد بن عيسى بن محمد بن العريضي. (المجدي في أنساب الطالبين، العمري، مكتبة آية الله عظمي المرعشي، 1422 ص. 337)
“Dan Ahmad Abul Qasim al-Abah yang dikenal dengan “al-Naffat” karena ia berdagang minyak nafat (sejenis minyak tanah), ia mempunyai keturunan di bagdad dari al-Hasan Abu Muhammad ad-Dalal Aladdauri di Bagdad, aku melihatnya wafat diakhir umurnya di Bagdad, ia anak dari Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Isa bin Muhammad (an-Naqib) bin (Ali) al-Uraidi.” (Al-majdi Fi Ansabittholibin, al-Umri, maktabah Ayatullah udzma al-mar’asyi, Tahun 1442 h. 337).

Kedua kitab abad lima ini sepakat tidak ada nama Ubaidillah sebagai anak Ahmad dan Alawi sebagai cucu Ahmad.

Ketiga, Kitab Muntaqilatut Tholibiyah karya Abu Ismail Ibrahim bin Nasir ibnu Thobatoba (w. 400 an), yaitu sebuah kitab yang menerangkan tentang daerah-daerah lokasi perpindahan para keturunan Abi tholib menyebutkan bahwa keturunan Abi tholib yang ada di Roy adalah Muhammad bin Ahmad an-Naffat. Seperti diketahui bahwa keturunan Nabi juga sekaligus adalah keturunan Ali bin Abi Talib. Kutipan kitab Muntaqilatut Tholibiyah tersebut sebagai berikut:

(بالري) محمد بن احمد النفاط ابن عيسى بن محمد الاكبر ابن علي العريضي عقبه محمد وعلي والحسين
“Di Kota Roy, (ada keturunan Abu Tholib bernama) Muhammad bin Ahmad an-Naffat bin Isa bin Muhammad al-Akbar bin Ali al-Uraidi. Keturunannya (Muhammad bin Ahmad) ada tiga: Muhammad, Ali dan Husain.” (Muntaqilatuttolibiyah, Abu Ismail Ibrahim bin Nasir Ibnu Thobatoba, Matba’ah al-Haidariyah, Najaf, tahun 1388 H/1968 M h. 160)

Dari kutipan itu Ahmad bin Isa disebutkan mempunyai anak bernama Muhammad, sama seperti kitab Tahdzibul Ansab dan kitab al-Majdi.

Abad kelima, konsisten berdasarkan tiga kitab di atas bahwa tidak ada anak Ahmad bin Isa bernama Ubaidillah, dan tidak ada cucu Ahmad bin Isa bernama Alawi padahal penulisnya semasa dengan Ubaidillah dan Alawi.

Lalu siapa Alawi bin Ubaidillah ini yang nanti keturunannya mengaku cucu Nabi Muhammad SAW?

Sebelum itu mari kita lihat terlebih dahulu kitab yang lain, mungkin ada nama ubaidillah disebut anak Ahmad bin Isa.
Kitab as-Syajarah al-Mubarokah karya Imam Al-Fakhrurazi (w. 604 H) menyatakan dengan tegas bahwa Ahmad bin Isa tidak mempunyai anak bernama Ubaidillah. Kutipan dari kitab itu sebagai berikut:

أما أحمد الابح فعقبه من ثلاثة بنين: محمد ابو جعفر بالري، وعلي بالرملة، وحسين عقبه بنيسابور (الشجرة المباركة: 111(
“Adapun Ahmad al-Abh maka anaknya yang berketurunan ada tiga: Muhammad Abu ja’far yang berada di kota Roy, Ali yang berada di Ramallah, dan Husain yang keturunanya ada di Naisaburi.” (Al-Syajarah Al-Mubarokah: 127)

Dari kutipan di atas Imam Al-Fakhrurazi tegas menyebutkan bahwa Ahmad al-Abh bin Isa hanya mempunyai anak tiga yaitu Muhammad, Ali dan Husain. Ahmad al-Abh tidak mempunyai anak bernama Ubaidillah. Dari ketiga anaknya itu, semuanya, menurut Imam al-fakhrurazi, tidak ada yang tinggal di Yaman.

Imam al-Fakhrurazi, penulis kitab al-Syajarah al-Mubarokah tinggal di Kota Roy, Iran, di mana di sana banyak keturunan Ahmad Al-Abh dari jalur Muhammad Abu Ja’far, tentunya informasi tentang berapa anak yang dimiliki oleh Ahmad al-Abh ia dapatkan secara valid dari keturunan Ahmad yang tinggal di Kota Roy.

Dalam kitabnya itu Imam Al-Fakhrurazi dengan tegas menyebutkan nama anak Ahmad al-Abah bin Isa hanya tiga. Dan tidak ada nama anak Ahmad bin Isa yang bernama Ubaidillah, apalagi cucunya yang bernama Alawi. Sampai pengarang kitab ini wafat tahun 604 Hijriah, sudah 259 tahun dihitung mulai dari wafatnya Ahmad bin Isa, tidak ada riwayat, tidak ada kisah, tidak ada kabar bahwa Ahmad bin isa pernah punya anak yang bernama Ubaidillah dan cucu yang bernama Alawi. Siapa mereka berdua yang kemudian diberitakan oleh anak keturunannya sebagai cucu Nabi Muhammad SAW?

Sebelum menjawab siapa Ubaidillah dan Alawi, mari kita lihat kitab nasab abad ketujuh Hijriah!
Kitab al-Fakhri fi Ansabitalibin karya Azizuddin Abu Tolib Ismail bin Husain al-Marwazi (w. 614) menyebutkan yang sama seperti kitab-kitab sebelumnya yaitu bahwa tidak ada anak Ahmad bin Isa bernama Ubaidillah, dan tidak ada cucunya yang bernama Alawi. Kutipan lengkapnya sebagai berikut:

منهم أبو جعفر الاعمى محمد بن علي بن محمد بن احمد الابح له اولاد بالبصرة واخوه في الجبل بقم له اولاد ( الفخري في انساب الطالبين، السيد عزيز الدين ابو طالب اسماعيل بن حسين المروزي، تحقيق السيد مهدي الرجائي، ص. 30
“Sebagian dari mereka (keturunan Isa an-Naqib) adalah Abu Ja’far (al-a’ma: yang buta) Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad al-Abah, ia punya anak di Bashrah, dan saudaranya di al jabal di Kota Qum, ia punya anak.” (Al-Fakhri fi ansaabitholibin, Sayid Azizuddin Abu Tholib Ismail bin Husain al-Mawarzi, Tahqiq sayid Mahdi ar-Roja’I, h. 30).

Sampai abad ketujuh ini tidak ada nama anak Ahmad yang bernama Ubaidillah dan pula tidak ada cucu Ahmad bernama Alawi dan tidak pula disebutkan Ahmad bin Isa punya keturunan di Hadramaut Yaman.

Kitab Abad Kedelapan Hijriah

Kitab al-Ashili fi Ansabittholibin karya Shofiyuddin Muhammad ibnu at-Thoqtoqi al-Hasani (w. 709 H) sama seperti kitab sebelumnya tidak sama sekali menyebut ada nama Ubaidillah sebagai anak Ahmad, tidak pula ada nama Alawi sebagai cucu Ahmad. Kutipan lengkapnya seperti berikut ini:

ومن عقب أحمد بن عيسى النقيب الحسن بن ابي سهل أحمد بن علي بن ابي جعفر محمد بن أحمد (الأصيلي في انساب الطالبين، الطقطقي، تحقيق السيد مهدي الرجائي، ص. 212)
“Dan dari keturunan Ahmad bin Isa an-Naqib adalah al-Hasan bin Abi Sahal Ahmad bin Ali bin Abi Ja’far Muhammad bin Ahmad (Al-Ashili fi Ansabittholibin, at-Thoqtoqi, Tahqiq Sayid Mahdi Ar-Roja’I, h. 212).

Sampai penulis kitab ini wafat tahun 709 Hijriah, terhitung sejak wafatnya Ahmad bin isa di tahun 345 Hijriah, sudah 364 tahun berlalu tidak ada kabar, tiada cerita, tiada kisah dan tiada riwayat bahwa Ahmad bin Isa mempunyai anak bernama Ubaidillah dan mempunyai cucu bernama Alawi, dan satu lagi, tidak ada kabar pula bahwa Ahmad bin Isa ini hijrah ke Hadramaut Yaman, sebagaimana ia dijuluki kemudian pada ratusan tahun setelahnya sebagai al-Muhajir (orang yang berpindah) riwayat itu diada-adakan kemudian tanpa sanad.

Pencangkokan pertama nasab Ahmad Bin Isa bin Muhammad an-Naqib

Lalu setelah 385 tahun ada nama baru muncul. Tapi bukan Ubaidillah, ia adalah Abdullah yang disebut sebagai anak Ahmad bin Isa. Ia disebut bukan dalam kitab nasab tapi dalam sebuah kitab yang berbicara tentang sejarah para ulama dan para raja di Yaman. Kitab itu bernama kitab Al-suluk fi Tabaqot al-Ulama wa al- muluk karya Al-Qodli Abu Abdillah Bahauddin Muhammad bin Yusuf bin Ya’qub (w. 730/731/732).

Jelas sekali nama Abdullah ini bukan Ubaidillah, karena memiliki keturunan yang berbeda dengan klaim Ba alawi sekarang. Dalam kitab ini memang muncul pula nama Ba Alawi, namun nama-nama yang disebutkan dari keluarga Ba Alawi masa kitab ini sama sekali berbeda dengan nama-nama yang disebutkan oleh kitab karangan Ba alawi masa kemudian. Dan kitab ini tidak menyebut sama sekali nama alawi bin Ubaidillah. Ini pencangkokan pertama nasab Nabi Muhammad SAW dari jalur Ahmad bin Isa bin Muhammad an-Naqib, yaitu yang dilakukan oleh keluarga Ba Alawi banil Jadid. Nama Alawi dan Ubaidillah masih tidak muncul berbalut kehampaan.

Dalam kitab nasab yang ditulis awal abad kesembilan nama Abdullah pun belum ada, ini sangat logis, kitab nasab yang ditulis oleh ulama nasab tentu tidak mungkin sembarangan memasukan nama yang tidak jelas dalam rumpun keluarga nabi Muhammad SAW yang demikian itu berbeda dengan kitab sejarah, penulis sejarah meriwayatkan dalam kitabnya nasab tokoh yang ditulis sesuai pengakuannya. Ia tidak terlalu menuntut kesahihannya, karena kesahihan nasab itu nanti bisa dikenali dan diuji oleh bidang yang lebih spesifik yaitu bidang nasab, sejarah hanya menulis sesuai pengakuan tokoh, karena pengakuan itu bagian dari sejarah pula. Benar atau tidaknya sangat mudah dibuktikan dalam sanad nasab yang ditulis setiap generasi dalam kitab-kitab nasab.

Dalam kitab Umdatuttolib fi Ansabi Ali Abi Tholib karya Ibnu Anbah (w. 828) juga tidak disebutkan bahwa Ahmad bin Isa mempunyai anak Ubaidillah dan punya cucu yang bernama Alawi. Kutipan lengkapnya seperti berikut ini:

ومنهم احمد الاتج بن ابي محمد الحسن الدلال بن محمد بن علي بن محمد بن أحمد بن عيسى الاكبر (عمدة الطالب في أنساب ال ابي طالب، ابن عنبة، ص. 225
“Sebagian dari keturunan Muhammad an-Naqib adalah Ahmad al-Ataj bin Abi Muhammad al-Hasan ad-Dallal bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Isa al-Akbar. (Umdatutholib fi Ansabi Ali Abi Tholib, Ibnu Anbah, h. 225).

Sampai awal abad Sembilan ini tidak disebutkan nama Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa, tidak pula disebutkan ada cucunya bernama Alawi, Seperti juga tidak disebutkan bahwa Ahmad bin Isa hijrah ke Hadramaut Yaman. Tidak ada!

Nama Abdullah muncul kembali pada abad ke 9 dinisbahkan sebagai anak Ahmad bin Isa. Kitab itu bernama kitab An-Nafhah al-Anbariyah karya Muhammad Kadzim bin Abil Futuh al-Yamani al-Musawi (w. 880). Dari situ kita melihat bahwa nama Abdullah telah menghilang dari radar para penulis nasab selama 535 tahun dihitung dari wafatnya Ahmad bin Isa, lalu muncul dikitab nasab setelah 535 tahun tersebut.

Pencangkokan Nasab Alawi Kepada Abdullah Tahun 996 Hijriah Abad 10 H.

Dalam kitab Tuhfatutholib Bima’rifati man Yantasibu Ila Abdillah wa Abi Tholib, karya Sayid Muhammad bin al-Husain as-Samarqondi (w. 996) disebutkan seperti berikut:

واما احمد بن عيسى بن محمد بن العريضي فقال ابن عنبة ابو محمد الحسن الدلال بن محمد بن علي بن محمد بن احمد بن عيسى الرومي من ولده وسكت عن غيره. قلت رايت في بعض التعاليق ما صورته قال المحققون بهذا الفن من اهل اليمن وحضرموت كالامام ابن سمرة والامام الجندي والامام الفتوحي صاحب كتاب التلخيص والامام حسين بن عبد الرحمن الاهدل والامام ابي الحب البرعي والامام فضل بن محمد البرعي والامام محمد بن ابي بكر بن عباد الشامي والشيخ فضل الله بن عبد الله الشجري والامام عبد الرحمن بن حسان: خرج السيد الشريف بن عيسى ومعه ولده عبد الله في جمع من الاولاد والقرابات والاصحاب والخدم من البصرة والعراق الى حضرموت واستقر مسكن ذريته واستطال فيهم بتريم بحضرموت بعد التنقل في البلدان والتغرب عن الاوطان حكمة الملك المنان. فأولد عبد الله علويا وعلوي اولد محمدا ومحمد اولد علويا وعلوي اولد عليا خالع قسم وعلي خالع قسم اولد محمد صاحب مرباط واولد محمد صاحب مرباط علويا وعليا فاما علوي فله اربعة اولاد احمد وله عقب وعبد الله ولا عقب له وعبد المالك وعقبه في الهند وعبد الرحمن وله عقب. واما علي فله الفقيه المقدم محمد وله عقب كثير (تحفة الطالب بمعرفة من ينتسب الى عبدالله وابي طالب، السيد محمد بن الحسين السمرقندي المدني، ص. 76-77)
“Adapaun Ahmad bin Isa bin Muhammad bin (Ali) al Uraidi maka Ibnu Anbah berkata: Abu Muhammad al-Hasan al-Dallal bin Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Isa ar-Rumi adalah dari keturunan Ahmad bin Isa, ia (Ibnu Anbah) diam tentang selain Abu Muhammad. Aku berkata (penulis kitab Tuhafatutolib): Aku melihat dalam sebagian ta’liq (catatan pinggir sebuah kitab ditulis oleh santri dipinggir kitab ketika mendengar keterangan guru) tulisan yang bunyinya “Telah berkata al-muhaqqiqun dari cabang ilmu ini (nasab) dari ahli Yaman dan Hadramaut, seperti Imam Ibnu Samrah, al-Imam al-Jundi, al-Imam al-Futuhi yang mempunyai kitab at-Talkhis, al-Imam Husain bin Abdurrahman al-Ahdal, al-Imam Abil Hubbi al-Bur’I, al-Imam Fadhol bin Muhammad al-Bur’I, al-Imam Muhammad bin Abi Bakar bin Ibad as-syami, Syekh Fadlullah bin Abdullah as-Syajari, dan al-Imam Abdurrahman bin Hisan bahwa Sayid Syarif Ahmad bin Isa pergi bersama anaknya, Abdullah, dalam rombongan para anak, kerabat, teman-teman, para pembantu dari Bashrah dan Iraq menuju Hadramaut setelah berpindah dari berbagai daerah dan bersembunyi dari berbagai Negara, sebagai hikmah Tuhan raja yang maha memberikan anugrah. Maka kemudian Abdullah mempunyai anak bernama Alwi, dan Alwi mempunyai anak bernama Muhammad, Muhammad mempunyai anak Alwi (lagi), Alwi mempunyai anak Ali Khali’ Qosam, Ali Kholi’ Qosam mempunyai anak bernama Muhammad Shohib Mirbath, dan Muhammad Shohib Mirbath mempunyai anak bernama Alwi dan Ali. Maka adapun Alwi maka mempunyai empat anak: Ahmad dan ia berketurunan, Abdullah ia tidak berketurunan, Abdul Malik keturunannya di India, dan Abdurrahman dan ia berketurunan. Dan adapun Ali maka ia mempunyai anak al-Faqih al-Muqoddam Muhammad dan ia mempunyai banyak keturunan. (Tuhfatuttolib, Sayid Muhammad bin al-Husain, h. 76-77).

Inilah kitab pertama yang menyebut nama-nama yang lazim di keluarga Alawi seperti Alawi, Sohib mirbat dan al-Faqih al-Muqoddam. Dan penyebutan ini tanpa referensi kitab nasab sebelumnya. Pengarang kitab Tuhfatuttolib ini hanya berdasarkan secarik kertas yang ia temukan yang ada nama-nama susunan nasab itu lalu ia masukan kedalam kitabnya, ia berkata “bahwa aku menemukan sebuah ta’liq” yaitu catatan santri pada sebuah kitab ketika mengaji dihadapan guru, Dari situlah mulai mashurnya keluarga Alawi sebagai keturunan Ahmad bin Isa.

Dari sini terlihat, nama Alawi baru muncul setelah 651 tahun dari wafatnya Ahmad bin Isa. Dari sini pula kita bisa melihat di generasi mana mulai ada penisbatan keturunan Alawi sebagai dzuriyat Nabi, yaitu dimasa ahir abad 10 hijriah. Yaitu ketika keluarga Ba Alawi bani alawi mencantolkan diri kepada Abdullah “bin” Ahmad, dimana telah disebutkan sebelumnya nasab Abdullah ini hasil pencantolan atau pencangkokan pula dari nasab Ahmad bin Isa. Ini adalah pencangkokan dari pencangkokan. Di masa al Faqih al-Muqoddam yang wafat tahun 653 Hijriah belum ada pengakuan keluarga Alawi sebagai dzuriyat Nabi Muhammad SAW.

Walaupun nama Alawi telah muncul dalam kitab nasab, tetapi ada masalah karena yang disebutkan itu ia bin Abdullah bukan bin Ubaidillah, sementara, mungkin yang masyhur pada abad 10 itu, ia bin ubaidillah, dan Abdullah yang pernah disebut dalam kitab Assuluk tidak punya anak bernama Alwi, tetapi anaknya bernama Jadid, lalu kapan nama Ubaidillah ini muncul dalam kitab nasab dan punya anak bernama Alawi?

Nama Ubaidllah muncul dikitab-kitab nasab yang ditulis keluarga Alawi pada waktu kemudian. Seperti kitab Syamsudzahirah karangan Syekh Abdurrahman al-Masyhur (w. 1320 H), Nubdzat Latifah karangan Zainal Abidin bin Alwi Jamalul Lail (w. 1235 H), Uqudul Almas karangan Alwi bin Tohir Al Haddad (1382 H), Khidmatul ‘Asyirah (1384H), ringkasan Syamsudzahirah, karangan Ahmad bin Abdullah Assegaf.

KESIMPULAN

Berdasarkan data-data ilmiah yang penulis sebutkan di atas, penulis menyimpulkan bahwa menurut takaran ilmiah keluarga Habib Ba Alawi tertolak secara ilmiah sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW. karena keluarga ini bernisbah kepada Ahmad bin Isa setelah 651 tahun dari wafatnya Sayyid Ahmad bin Isa tanpa sanad. kitab-kitab yang ditulis terdekat dengan masa Sayyid Ahmad bin Isa tidak mengkonfirmasi adanya Alawi dan Ubaidillah sebagai cucu dan anak dari Ahmad bin Isa.

Alawi dan Ubaidillah ditulis sebagai anak dan cucu Ahmad bin Isa dalam kitab-kitab nasab jauh setelah lebih dari 650 tahun. Tentunya aneh jika orang yang tidak ada dikenal sebagai keturunan Ahmad bin Isa lalu kemudian setelah 651 tahun disebut sebagai keturunannya tanpa sanad yang tersambung (muttasil).

Kedudukan riwayat nasab semacam Ba Alawi ini dalam ilmu hadits masuk dalam kategori maudlu (palsu). Mashurnya penyebutan Ba Alawi masa kini (tahun 1444 H) sebagai keturunan Nabi tidak bisa dijadikan pegangan kesahihan nasab mereka. Seperti sebuah hadits yang masyhur ditengah-tengah masyarakat belum tentu hadits itu sahih. Tentu pengakuan yang sudah berjalan selama 448 tahun itu, mulai dari ditulisnya kitab an-Nafhah, dilanjut kitab-kitab lainnya dari keluarga mereka, dan masifnya penyebaran melalui tulisan, ceramah dan media sosial yang dilakukan, menjadikan doktrin itu menjadi masyhur dan istifadloh. Tetapi Syuhroh wal istifadoh, jika bertentangan dengan data primer menjadi tidak berguna, ia tidak dapat menjadi patokan kesahihan.

Mengenai panggilan habib apakah boleh disematkan kepada bukan keturunan Rasulullah? Jawabannya, para keturunan Nabi dalam sejarah disematkan panggilan sayyid atau syarif, sedangkan panggilan habib itu panggilan khas untuk keturunan Alawi bin Ubaidillah Yaman dan bukan panggilan khas keturunan Nabi, jadi siapa saja boleh dipanggil habib jika ia senang mendengar panggilan itu. Wallahu a’lamu bi haqiqatil hal.

Ditulis oleh: KH. Imaduddin Utsman al-Bantanie (Ketua Komisi fatwa MUI Banten, dan Pengurus LBM PBNU)
Editor: Didin Syahbudin

https://rminubanten.or.id/menjawab-ludfi-rochman-tentang-terputusnya-nasab-habib/
Read more »
BANI SAUD FIX KETURUNAN NABI ISMA'IL DENGAN HAPLOGRUP Y DNA= J1-FGC2

BANI SAUD FIX KETURUNAN NABI ISMA'IL DENGAN HAPLOGRUP Y DNA= J1-FGC2

Masih ingat tidak , duluuu para pembenci saudi seperti para habib sufi dan habib syiah ada yang nyebar isu kalau Bani Saud (Dinasti Saudi) itu keturunan Yahudi? Masih ingat ngga? Nah, ternyata tuduhan mereka itu salah .... Justru sebaliknya DNA dari para habib ini masih di ragukan sebagai cucu rasul muhammad shallalahu alaihi wa salam .

Ternyata Bani Saud secara DNA dan catatan nasab FIX KETURUNAN NABI ISMA'IL , dengan haplogrup y DNA J1-FGC2, melalui jalur cicitnya yang bernama RABI'AH terus ke bawah hingga HANIFAH, Saudi adalah bagian dari Banu Hanifah. Rabi'ah sendiri adalah saudara moyangnya Rasulullah yang bernama MUDHOR. Jadi Keluarga Saud masih sepupuan sama Bani Hasyim ya. 

Yuk, yang dulu ikutan nyebar isu-isu ini tanpa tabayyun, taubat cepetan deh

Sedangkan alsaud masih saudara dengan al anazi , yakni Anzi bin Wael adalah suku suku Adnan dari suku Rabi'ah pada masa pra Islam dan mereka tinggal di Khaybar ,Anz bin Wael bin Qasit bin Hanab bin Afsa bin Da'mi bin Jadila bin Asad bin Rabia adalah saudara laki-laki Bakr bin Wael dan Taghlib bin Wael. 

Anz bin Wael mempunyai anak: Irasha dan Rufaidah. Irasha bin Anz mempunyai putra yaitu : Qattan, Asir , dan Jandala. Rufaidah bin Anz mempunyai putra yaitu : Abdullah, Amr, Rabia, Muawiyah, dan Himar. Diantaranya adalah Amer bin Rabi'ah bin Ka'b Al-Anazi, sahabat Rasulullah Muhammad .

Anza bin Asad bin Rabi'a bin Nizar bin Ma'ad bin Adnan yang merupakan keturunan dari Ismail bin Ibrahim, sang ayah para nabi. Perlu dicatat bahwa Anza bin Asad dianggap sebagai salah satu putra Wael. Ia dianggap sebagai saudara laki-laki Bani Wael.

Read more »
Beranda